Bangsa Indonesia baru saja kehilangan seorang Guru Besar yang rendah hati. Prof. Yahya Muhaimin, mantan Menteri Pendidikan Nasional era Presiden Abdurrahman Wahid. Dosen UGM yang berasal dari Bumiayu Brebes.
Yahya Muhaimin bersama Anies Baswedan (Sumber: Twitter @aniesbaswedan) |
Beberapa orang menuliskan pengalaman mereka berinteraksi dengan Yahya Muhaimin. Selain Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, ada pula Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya, Prof Dr Purnawan Basundoro.
Berikut kisah keteladanan dari Prof Yahya Muhaimin ketika
harus menahan diri untuk mendapatkan gelar professor atau guru besar. Tulisan
Prof. Purnawan Basundoro ini pernah dimuat di portal pwmu.co, berikut selengkapnya.
Ada satu hal yang saya ingat betul sampai saat ini mengenai
Pak Yahya Muhaimin. Tahun 1999 saat baru saja menjabat sebagai Menteri
Pendidikan Nasional, dia menghadiri pengukuhan Pak Amien Rais sebagai guru
besar (profesor) di Universitas Gadjah Mada.
Setelah acara usai, wartawan mendekatinya dan bertanya,
”Kapan Bapak akan dikukuhkan sebagai guru besar seperti Pak Amien Rais?”
Dia dengan ringan menjawab, ”Menteri Pendidikan Nasional melarang untuk menetapkan saya sebagai guru besar.”
Saat itu dia yang tengah menjabat sebagai Menteri Pendidikan
Nasional. Dengan demikian, dia yang melarang dirinya sendiri untuk mendapatkan
jabatan guru besar. Percakapan antara wartawan dengan Pak Yahya Muhaimin waktu
itu sempat diwartakan oleh beberapa surat kabar.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi atas jawaban
tersebut. Pertama, saat seorang dosen mendapat jabatan (struktural) di luar
perguruan tinggi otomatis status sebagai dosen dilepas sehingga tidak berhak
menerima kenaikan jabatan akademik.
Kedua, bisa saja sebenarnya Pak Yahya Muhaimin memaksakan
diri memberi kenaikan jabatan akademik guru besar ke dirinya sendiri, dengan
dalih bahwa status sebagai dosen masih disandangnya walaupun sedang menjabat
sebagai menteri.
Pasti hal yang mudah sebagai seorang menteri memberi
instruksi ke Dirjen Dikti untuk memproses kenaikan jabatan tersebut. Toh Pak
Yahya pada waktu itu dengan berbagai karyanya yang banyak pasti sudah memenuhi
syarat sebagai guru besar.
Namun hal itu tidak dilakukannya. Dia sadar betul sebagai
seorang pejabat publik tidak mau ada conflict of interest pada dirinya. Dia
tidak ingin mengeluarkan surat keputusan (SK) yang ditandatangani sendiri dan
untuk dirinya sendiri. Ia tidak ingin menangguk keuntungan pribadi atas jabatan
yang disandangnya
Alhasil, dia baru mendapatkan kenaikan jabatan akademik guru
besar setelah satu tahun lebih lengser sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Dia
menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional pada tahun 1999-2001, dan
mendapatkan jabatan akademik guru besar tahun 2003.
Dengan demikian, jabatan guru besar ia dapatkan saat
berposisi murni sebagai seorang dosen, sebagai orang biasa bukan sebagai
pejabat.
Pak Yahya Muhaimin lahir dari keluarga aktivis Muhammadiyah
di Bumiayu, sebuah kota kecil yang terletak beberapa puluh kilometer dari Kota
Purwokerto. Ayahnya seorang wirausaha sedangkan ibunya guru sekolah dasar yang
menghendaki agar Yahya Muhaimin menjadi seorang guru juga.
Selepas SMA di Purwokerto, Yahya Muhaimin melanjutkan
studinya di Jurusan Hubungan Internasional Fisipol Universitas Gadjah Mada.
Selama menjadi mahasiswa ia aktif berorganisasi, terutama di Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) dan di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Pada akhirnya keinginan ibunya agar Yahya Muhaimin menjadi
seorang guru kesampaian. Setelah Yahya Muhaimin lulus sebagai sarjana Hubungan
Internasional, dia diangkat sebagai dosen di almamaternya.
Kemudian dikenal sebagai pengamat militer yang andal.
Bukunya berjudul Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966
menjadi rujukan utama untuk siapapun yang meneliti perkembangan militer di Indonesia.
Analisis militernya sering menghiasi surat kabar.
Baca Juga : Kisah Mantan Mendiknas Yahya Muhaimin, Berkala Kirimi Anies Baswedan 100 Dolar
Dia menamatkan pendidikan doktor di Massachusetts Institute
of Technology (MIT) Amerika Serikat pada tahun 1982. Disertasi doktornya
berjudul The Politic of Client Businessmen; Indonesian Economic Policy
1950-1980.
Disertasi tersebut pada tahun 1991 diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh LP3ES dengan judul Bisnis dan Politik:
Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980.
Terbitnya buku tersebut langsung menyulut kemarahan adik tiri
Presiden Soeharto, Probosutedjo. Ia meradang karena buku itu membahas bisnisnya
yang dianggap sebagai bisnis yang dibesarkan oleh kekuasaan kakak tirinya.
Probosutejo mengajukan somasi agar buku yang sudah telanjur
beredar tersebut ditarik semuanya dari pasaran.
Semula pihak LP3ES tidak mau melayani somasi tersebut, dan
menginginkan agar kasus itu masuk ke ranah hukum saja. Biarkan hukum yang
membuktikan apakah kajian akademis tersebut salah.
Namun, Yahya Muhaimin tidak ingin kasus tersebut membuat
kondisi menjadi semakin keruh. Ia tidak mau berkonflik dengan pihak yang sedang
kuat-kuatnya berkuasa, sehingga jalan yang ia pilih adalah minta maaf.
Kariernya di PP Muhammadiyah adalah sebagai Ketua Majelis
Pendidikan Tinggi, sedangkan karirnya di birokrasi, sebelum menjadi Menteri
Pendidikan Nasional adalah Dekan Fisipol UGM dan Atase Pendidikan dan
Kebudayaan di Washington DC Amerika Serikat.
Kita semua kehilangan atas kepergian Bapak Yahya A. Muhaimin.
Semoga amal kebaikannya diterima oleh Allah swt. Aamiin. (*)
Sumber: pwmu.co